Kamis, 09 Februari 2012

SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN PERGURUAN AL – HIKMAH DAN CABANGNYA DI KALIMANTAN BARAT


SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN PERGURUAN AL – HIKMAH DAN CABANGNYA
DI KALIMANTAN BARAT
Pada awal Juli 1984 K.H Moh Saki Abd Syukur. Selaku pimpinan Perguruan Al Hikmah dan guru besar ilmu Al Hikmah mengundang Ust H Abd Kadir Rahman, Ust H Warlan, Ust Panji Sempena dan Sdr Sumarlianto S.H serta Ust H.M Kamad Lz ntk bermusyawarah bersama di Cisoka(Banten). Dlm musyawarah dirumuskan beberapa pemikiran diantaranya :
1. Misi Da'wah Perguruan Al Hikmah harus dikembangkan terus ke berbagai   pelosok tanah air,oleh perawat dan pembina masing-masing.
2. Usaha dan kegiatan para perawat di daerah perlu diorganisir oleh organisasi yg berbadan hukum agar tdk dianggap organisasi liar sebab guru besar akan menginstrusikan seluruh anggota dan perawat. Pembina perguruan Al Hikmah keluar,mengundurkan diri dari yayasan Al Hikmah.
3. Dengan adanya wadah organisasi yg berbadan hukum terbitlah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yg dpt menjalin hubungan baik sesama anggota dan para perawat pembina dlm menjalankan tugas dan kewajiban da'wah sosial keagaman melalui ILMU JAGA DIRI AL HIKMAH.
     Bertitik tolak dari memikiran tsb. Maka K.H Moh Saki Abd Syukur dan beberapa org yg ditunjuk sebagai badan pendiri, mendirikan Yayasan Perguruan Al Hikmah pd tgl 1 Juli 1984 di hadapan notaris Mohamad Said Tadjoedin dgn akte notaris No.77 tanggal 8 agustus 1984 dan disyahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dibawah no.103 ditandatangani oleh PANITERA MAHDI SOROINDA NST SH NIP.040028810.
PASAL  3
ANGGARAN DASAR YAYASAN
Yayasa perguruan Al-Hikmah berdasarka Pancasiala dan UUD 45
Maksud dan Tujuan Yayasan :
a.Mensyiarkan Agama Islam,dengan menyebar luaskan ajaran Ahli Sunnah Waljama”ah.
b.Membentuk masyarakat yang berilmu,berbudaya,beramal sholeh,serta bertaqwa kepada Allah S.W.T,Cinta Agama Islam,Nusa Dan Bangsa Indonesia
c.Membantu Pemerintah RI seutuhnya dengan melakukan usaha-usaha sosial,ekonomi,pendidikan dan kebudayaan,dalam Arti yang seluas-luasnya.
 
SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN PERGURUAN AL – HIKMAH CABANG WILAYAH
KALIMANTAN BARAT:
Pada Tanggal 04 September 1992 , BapakHaji Bastaman,B.Sc mendapat Amanah dari Al-MUKARROM  
KH.ABDUL KADIR RAHMAN Selaku Guru dan Ketua UMUM YAYASAN PERGURUAN ALHIKMAH PUSAT DI JAKARTA ,mengangkat dan sekaligus menunjuk Bapak H.Bastaman,B.Sc menjadi PERAWAT dan Ketua Organisasi Yayasan Perguruan Al-Hikmah Wilayah Kalimantan Barat dengan SK No.09.YPAPR.KLB.IX.1992 Yang saat pengesahan itu dihadiri oleh Guru Beliau Ust.Urip Masito,Badan Pendiri,Pengurus dan Penasehat Yayasan Perguruan Al-Hikmah serta Ikhwan Al-Hikmah Kalimanatan Barat.
Didalam mengembangkan ilmu hikmah dan menyiarkan Dakwah Islamiyah untuk menegakkan syariat Agama Islam sesuai dengan Anggaran Dasar Organisasi
Pasal 3 :
Didalam menyebarkan luaskan da’wah bilhal ini,dibentuk organisasi cabang yang berada dikota/Kabupaten/Kecamatan sebagai perpanjangan tangan perawat untuk para Ikhwan yang ada dimasing-masing daerahnya yang pada saat ini sudah mempunyai 13 cabang yaitu:
1.KABUPATEN SINTANG 
   KETUA SYAIKH ANWAR SADAD HP.0821 5605 4463
2.KABUPATEN SEKADAU
3.BALAI KARANGAN
4.BEDUWAI
5.MANDOR
6.KABUPATEN NGABANG
7.ANJUNGAN
8.SUNGAI PINYUH
9.KOTA MADYA PONTIANAK
10.MEMPAWAH
11.KUBU RAYA
13.SINGKAWANG

SEKRETARIAT:
 Yayasan Perguruan Alhikmah Wilayah Kalimantan Barat dibawah
asuahan Perawat :Ust.H.Bastaman bin H.abdul Muis(HP.08125732104) dengan   SK.No.09.YPAPR.KLB.IX.1992 yang beralamat di :
1.Jln.Tanjung Raya II Komlek Bali Lestari Blok J No.1 Pontianak
2.Jln Gusti Abdul Hamid No.59 Mempawah

 Susunan Pengurus Yayasan Perguruan Al-Hikmah Jakarta Pusat
Dewan Kehormatan               : Let. Jend. (Purn) Ir. H. Azwar Anas
Dewan Penasihat                     : KH. Syukron Makmun, BA.
Ketua Umum                            : Brig. Jend. (Purn) H. Nurhadi P, M.Sc.
Wakil Ketua Umum                : DR. Sechan Shahab, SH.
Ketua Pendidikan Dakwah    : H. Iskandar Dz. Occ
Ketua Bid. Keuangan              : Dra. Sri Sulartini
Ketua Bid. Pemuda/Peragaan : Doni Romdoni
Sekretaris Umum                     : Drs. Bachtiar Effendi
Bendahara Umum                    : DR. Dr.H. Tamzil A. Salim, MM.
                   KANTOR YAYASAN PERGURUAN AL-HIKMAH
Jl. Meruya Selatan No.113 (Depan Kampus Universitas Mercubuana) Meruya, Jakarta Barat, Indonesia
Informasi Lebih Lanjut Hubungi :
1. H. Iskandar Dz. Occ (08128629947)
2. Drs. Bachtiar Effendi (08129141500)
 

ALHIKMAH sebenarnya sangat dekat dgn tasawuf. Hal itu bisa dilihat dari sejarah asal-usul AL-HIKMAH
                bahwa H. Oddo adalh orang yg pertama kali menyalurkan ilmu hikmah kepada Abah Toha dan H Amilin yg kemudian di pertemukan pada Abah Syaki. H.Oddo tentunya hny meneruskan garis keilmuannya dari ayahnya yakni syech abdul karim al-Bantany seorang ulama besar yg mewariskan thoriqoh qodiriyah dari syech akhmad khotib sambas.
syech abdul karim al-Bantany seorang ulama besar yg mewariskan thoriqoh qodiriyah naqsyabandiyyah dari syech akhmad khotib sambas Bin Abdul GHOFFAR (Lahir 1802M/1217H di sambas-kalbar bermukim dan tinggal dimekkah sebagai pendiri thoriqot naqsyabandiyyah qodariyah) Kepada H.ODDO. 
                   Sekitar tahun 1934, K.H.Mohamad Toha bin Sieng yang lahir pada 15 Agustus
 1889 dan wafat 8 Desember 1957 adalah seorang pendekar yang disegani dan juga  opsir Belanda desersi di Betawi, berniat mencari ilmu Hikmah. Konon pada saat itu beliau mendapat petunjuk dari seorang kakek agar pergi ke pesantren milik    Bapak H. Oddo bin Syekh ABdul Karim Banten (lahir,1830 wafat 1939-an Tokoh thoriqot qodariyah yang  tekenal pada abad 19 dan imam masjid di mkkah )di Karawang
Selama ekurang lebih 2 tahun 10 bulan beliau tinggal di pesantren Bapak H. Oddo, hingga suatu ketika beliau dan 6 putra Bapak H. Oddo diizinkan untuk mengambil manuskrip/kitab (berbentuk gulungan rokok kaung) yang ada di langit-langit masjid pada malam Jumat (waktu itu tepat Nisfu Sya’ban dan menjelang Ramadhan). Ketika gulungan itu dibuka ternyata bertuliskan huruf arab gundul yang artinya: ilmu      keberkahan/selamat“Intisari dari ilmu selamat dunia dan akhirat” dan “Ilmu yang
 bekerja jika dizalimi orang lain”. Bapak H. Oddo lalu memberikan wejangan dan amalan (dzikir) kepada Bapak K.H.Muhamad Toha bin Sieng.Setelah sekian lama berada di  lingkungan pesantren milik Bapak H. Oddo, sekitar tahun 1937 Bapak Mohamad Toha pulang ke Betawi (daerah Tebet). Adiknya yang juga seorang jawara penasaran dengan  
 ilmu yang didapat Bapak Mohamad Toha dari pesantren.
Dengan rasa penasaran yang mendalam diseranglah      Bapak Mohamad Toha yang kala itu diam tak bergerak, tetapi tanpa diduga adiknya terjengkang jauh ke belakang.
Setelah kejadian itu Bapak Mohamad Toha menyadari manfaat salah satu ilmu yang di dapat dari pesantren milik Bapak H. Oddo .Hari-hari berikutnya Bapak
 Mohamad Toha mengajarkan dan mengembangkannya kepada murid-muridnya termasuk kepada salah satu murid generasi ketiganya, H. Iri
Bapak Mohamad Toha bin Sieng sendiri mengajarkan secara mendalam kepada tiga murid   kesayangannya dan salah satunya adalah KH.M.SYAKI ABDUSSYUKUR(BELAJAR TH 1939)  Nah,    oleh Abah Syaki inilahIlmu Hikmah terus dikembangkan dan diajarkan kepada para muridnya  hingga sampai kepada Bapak H.BASTAMAN.B,Sc sebabagai PERAWAT KALIMANTAN BARAT . dan saat ini alhikmah sudah tersebar didunia ,mekkah,singapure,malaysia,thailand dll     
   SEJARAH K.H.AMILIN BIN H.MANSYUR

KH.AMILIN atau yang bergelar Abdul Jabbar dilahir SEKITAR 1800 di Garut dan wafat tanggal 22 September1962 dimakamkan DAYEUH KOLOT BANDUNG.Shohibul hikayat Haji AMILIN atau para penghayat Abdul Jabbar atau para murid beliau di bandung dan Garut sering memanggil dia dengan sebutan penghormatan MAMAK amilin,beliau juga sempat berguru kepada HAJI ODDO bin SYAIKH ABDUL KARIM al-bantani Yang memiliki pesantren berada di daerah Karawang(Rengas Dengklok),syech abdul karim al-Bantany seorang ulama besar yg mewariskan thoriqoh qodiriyah naqsyabandiyyah dari syech akhmad khotib sambas Bin Abdul GHOFFAR (Lahir di sambas-kalbar bermukim dan tinggal dimekkah sebagai pendiri thoriqot naqsyabandiyyah qodariyah) Kepada H.ODDO.
         KH.AMILIN juga sempat berguru dan bermukim di Mekkah Al-Mukarromah .Salah satu gurunya di mekkah adalah “Syaikh Fathoni,”yang menurut riwayat adalah yang memberi beliau gelar “Abdul Jabbar’ yang berarti hamba allah yang gagah perkasa.
Abdul Jabbar adalah diri kita yang artinya sebagai manusia adalah abdi allah yang gagah perkasa (Abdul Jabbar) sebagai khalifah di mukabumi. Jadi Asmak Abdul Jabbar adalah penginisasian diri atau mengembalikan manusia ke arah seharus nya sebagai pemegang kendali alam semesta dan sebagai pengemban tugas dari sang maha pencipta.
Pada zaman penjajahan Mamak Haji Amilin bersama degan murid-murid nya memakai tanda gelang berwarna merah di pergelangan tangan,sehingga mereka lebih di kenal dengan sebutan “Pasukan Gelang Merah”.
Dalam menghadapi Belanda, Pasukan Gelang Merah tidak menggunakan senjata alias hanya menggunakan tangan kosong. Walawpun murid-murid beliau banyak berguguran menghadapi belanda yang bersenjata lengkap,tapi murid-murid beliau tetap berhasil memenangkan perang melawan Belanda. Karena hanya menggunakan tangan kosong mengahdapi belanda,tangan mereka banyak berlumuran darah sehingga mereka juga di kenal dengan sebutan “Si Tangan Merah”.
  Selama menjalani dan membina sebagai guru Asma Abdul Jabbar,di daerah Garut, Jakarta,dan Bandung atau lebih tepatnya di daerah Dayeuh Kolot Bandung. H. Amilin di kalangan murid-murid nya sering di panggil dengan sebutan Mamak Haji Amilin atau ada juga yang memanggil beliau dengan sebutan Mamak Pagreksa Haji Amilin, sedanhkan murid-muridnya di panggil dengan sebutan Pala Putra Mamak,”Pala” adalah sebutan jamka atau lebih dari satu putra Mamak Haji Amilin.
H. Amilin semasa hidupnya dulu banyak meluruskan orang-orang yang mencari atau mengunggulkan kedigdayaan. Banyak yang di lucuti baik isim-isim, jimat, bahkan niat nya orang-orang itu di luruskkan zikirnya hanya karena Allah semata.
Di ingat kan untuk meningkatkan ke ikhlasan dan di beri wasiat agar tekad,ucap,jeung lampah(niat,perkataan,dan tindakan) selaras dengan perintah allah swt di beritahukan makna basmalah,dua kalimah sahadat,innalillahi...,haokollah... supaya lurus.
Beliau juga berwasiat,jangan mengurusi khodam apalagi mitos. Wasiat yang terpenting adalah untuk selalu menjaga tauhid. Bahkan dalam zikir asma di katakan , barang siapa niat nya berzikir asma abdul jabbar,bukan karena allah dan termasuk di jadikan sulap,maka akan mengalami kecelakaan di dunia dan akhirat.
“untuk memukul ? (memukul siapa)
“untuk menjaga ? (dari apa)
Yang menjaga itu allah atau hijib ?..
Tengok ini untuk itu,itu untuk ini..
Dalam mengamalkan “(kalimah asma abdul jabbar)” ini,semata-mata hanya untuk berbakti diri kepada allah dan tidak untuk kepentingan dunia,kesaktian,kekayaan,da lain-lain.
Lihatlah nabi besar Muhammad SAW yang tidak ada satupun manusai yang lebih ma’rifat kepada allah selain beliau,kalau lah memang beliau kebal atau sakti, mengapa saat perang uhud beliau terluka dan jika kaum Quraisy menghina untuk mengeluarkan mu’jizat atau pun hal aneh lainnya, beliau hanya menjawab :
“AKU HANYA UTUSAN ALLAH SWT YANG DI UTUS KEPADAMU,YANG DI KATAKAN KEPADAKU BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”.
Sedangkan mu’jizat/karomah yang di alami baik oleh nabi besar muhammad SAW atau Mamak Haji Amilin yang sering di ceritakan para sepuh adalah benar tapi itu semata-mata adalah kehendak dan rahmat allah SWT bukan kehendak atau kemauan beliau. Allah berfirman dalam al-qur’an : “saat kamu melempar, maka bukan kamu yang melempar’tapi allah lah yang melempar”.
Da lihatlah iblis yng mampu terbang dan berpindah dari ujung barat ke ujung timur hanya dengan sekejap mata ! namun tetap saja dia terlaknat di hadapan allah swt.

MAKNA ASMAK ABDUL JABBAR/PERMOHONAN  
 TA’AWUDZ : A’UDZUBILLAHI MINASYAITHOIRRODZHIIM
Aku berlindung kepada allah dari godaan syaithan yang terkutuk,makna nya : dalam mengarungi hidup yang berat ini setan senantiasa menggoda manusia dengan laknatnya oleh karena itu,kita harus berlindung kepada allah agar terhindar dari laknat tersebut dengan cara mendekatkan diri kepada hukum-hukum allah
BASMALAH : BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM
Selain kita berlindung kepada hukum-hukum allah,maka kita mejalankan segala sesuatu dengan mengatas namakan allah. Artinya kita bertindak di muka bumi ini mewakili allah (khalifah di muka bumi ini) oleh karena itu segal tindak tanduk kita harus sesuai dengan yang di inginkan oleh allah yang tercantum dalam al-qur’an.
SYAHADAT : ASYHADUALLA ILAHAILALLAH WA ASHADUANNAMUHAMADARRASULULLAH
Hukum dengan sifat-sifat allah yang kita pakai dan nabi Muhammad sebagai pelaku yang kita pakai untuk mejalani kehidupan.
INNALILLAHI WA INNA ILAIHI RAJIUUN
Dalam hal ini semua yang di langit dan di bumi akan kembali kepadanya, maka kita jangan lah menyombongkan diri,segala sesuatu dengan kalimat insya allah.
Jadi jelas amalan di atas tanggung jawab yang berat bagi yang membacanya,bila mana mengingkari  atau mengkhianati sansinya akan sangat berat.  Semua nya karena sahadat diri, setiap abdul jabbar akan membawa shadatnya masing-masing kelak di hari akhir dan setiap abdul jabbar akan bertanggung jawab atas diri sendiri di hadapan shadatnya. Siapapun orang yang memvonis sesuatu karena sebab wirid nya asma abdul jabbar hanyalah semata-mata keridhoan allah terhadap hambanya yang senantiasa mengingatnya dalam keikhlasan,
“CUKUPLAH ALLAH YANG MENJADI PELINDUNG DAN HANYA KEPADA ALLAH LAH KITA MEMOHON PERLINDUNGAN, dalam pengmalannya yang di ajarkan  Mamak haji Amilin, asma abdul jabbar tidak memakai istilah guru atau murid, karena kita sama di mata allah,sama manusia nya.
APAKAH KITA SUDAH BENAR MENJADI MANUSIA ATAU SUDAHKAH MENJADI MANUSIA YANG BENAR?
Saksikan niat,ucap,dan perbuatan kita,apakah sudah betul sesuai dengan al-qur’an dan hadits. Salah satu wasiat mamak haji Amilin yang tercantum dlm kitab wasiat Asma Mamak Haji Amilin dalam bahasa Sunda dan di terjemahkan : ketika anda hendak mencari ilmu,harus di perhatikan bagaimana perilaku gurunya,bagaimana pelaksanaan ilmunya atau rnedah hati nya serta kasih sayang nya kepada murid. Dengan menurunkan ilmu,sebab mencari ilmu itu wajib dengan pelaksanannya. Mencari ilmu itu wajib bagi laki-laki dan perempuan,oleh karena itu perhatikan lah perilaku gurunya,karena ilmu yang paling utama itu adalah ilmu tingkah laku (akhlak) dan amal yang paling utama adalah memelihara tingkah laku.
Pepatah para sepuh= tetaplah seperti ilmu padi semakin berisi semakin merunduk,takut karena apa,berani punya apa.
Dalam masa penyebaran ajaran Asma Abdul Jabbar, Mamak Haji Amilin telah memberikan contoh teladan dari ajara asma yang baik. Hingga menurut kisah pala putra da keluarga beliau yang hadir pada saat Mama Haji Amilin mendekati ajal,Mamak Haji Amilin masih berpesan :Ulah musyrik....Ulah musyrik......Ulah Musyrik.....(jangan musryik 3x), lalu beliau pun meninggal.
Karena ajaran Asma Abdul Jabbar pernah di katakan sebagai aliran sesat oleh beberapa ulama,tuduhan sesat ini muncul dari masalah ke amanan,akidah dan persaingan perguruan.
Perdebatan yang serius terutama dalam pengistilahan : ABDUL JABBAR : dalam kalimah yang beliau sampaikan karena “Abdul itu di identikkan dengan makhluk bukan kholik,di khawatirkan dengan adanya penyimpangan akidah,namun alhamdulillah akhirnya setelah mencerna sesuai pemahaman HAKEKAT,terutama dari asbabun nuzulnya masalah tersebut selesai. Mereka menyimpulkan bahwa ajaran kalimah asma abdul jabbar mengandung penghayatan hakekat yang memang dalam.
 . Setelah salah satu penerus beliau menjelaskan kepada menteri agama akhirnya dapat di terima dan akhirnya nama ajaran sesat itu di cabut,namun akhirnya asma terpececah, yang di Jakarta di sebut asma intelek oleh yang di bandung karena ilmu di pergunakan ke kalangan luas dan membantu yang lemah secara massal,akhirnya banyak yang mengakui termasuk bapak Ali Sadikin almarhum yang pada waktu itu enjabat sebagai gubernur DKI

            HAKIKAT DAN NITSBAT ISMU ABDUL JABBAR
Nitsbat Ismu Abdul Jabbar ialah kepada tiga hamba allah : yaitu Malaikat Jibril Allaihissholatu Wassallam,Nabi Musa Allaihissholatu Wassallam, dan abi Besar Muhammad Rasulullahu Shalallahu alaihi wassallam (dalam kitab Syamsul Ma’arif Al Kubro )
Mungkin itulah filosofi ajaran Abdul Jabbar dari Mamak haji Amilin yang dalam pengalamannya di fokus pada “pengencangan otot ke dua lengan” di sertai dengan dzikir asmak-Nya.
Simbol lengan adalah filosofi kekuasaan dan power untuk merubah ke adaan, pada jibril Allaihissholatu Wassallam= lengan di simbolkan sayapnya yang jika di kembangkan sangat lebar dan panjang sekali dari ujung timur sampai ke ujung barat.
Pada Nabi Musa Allaihissholatu Wassallam = lengannya yang bercahaya
Pada Rasulullahu Shalallahu alaihi wassallam = di simbolkan sebagai “rahmatan lil alamin”
Hakikat Ismu Abdul Jabbar : dalam menggali khazanah ke ilmuan ismu Abdul jabbar adalah:
   
TA’AWWUDZ:
Pangreksa Allah adalah ismu yang mejadikan mengawali segala sesuatu yang yang dhohir :ALLAHU ISMUNLIDZTI WAJIBIL WUJUD,”Kalimat diatas merupakan kalimah peraksian terhadap asma yang merupakan kalimah cahaya awal kejadian.
BASMALAH:
Dengan menyebut  A sma Allah Arrohman dan Arrohim disini tersirat sebuah pemahaman “ASMA DZAT”.LAITSA KAMITSLIHI SYAI-UN Yakni ARRAHMAN dan ARRAHIM .Arrahman adalah ismuz Zat ismuz zat yang mengantarkan kepada  Nikmat dunia.Arrahim
Adalah ismuzzat  yang mengantarkan kita kepada nikmat di akhirat.
     Tetapi ini bukan berarti pengkotakan terhadap nikmat Allah.Karena ini adalah Ismu yang begitu lafazd ALLAH adalah  ismu yakni ismu DZAT LIDZATI WAJIBILWUJUD  Sama juga dengan dzat >
Laitsya kamitslihi syai-un ............

KONSEPSI ABDUL   JABBAR
Merupakan perwujudan dari tiga Pengreksa Allah yakni:
1.Jiwa
2.Ruh
3.Raga
Dalam bahasa lain disebut :
1.Nur
2.Kamilah
3.Baliah
Dalam bahasa lain disebut:
1.Tekat
2.Ucap
3.Lampah

SYAHADAT:
Maka dengan ketiga perkara diatas aku bersaksi bahwa,”LAA ILHA ILLALLOH MUHAMMADDARRASULULLAH,”Ini berarti meniadakan ILLAH(TUHAN/HIJAB)Yang ada pada ketiga perkara diatas kecuali hanya kepada Allah..........................”dan bahwa Muhamad SAW Adalah
Utusan Allah.”Disinilah kita menyadari bahwa segala sesuatu merupakan Pengreksa atau karena izin Allah dan keridhoan Allah, KONSEPSI inilah muncul kalimah Ke 4 yakni:
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROOJI-UUN:Bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembalipun kepada ALLAH....................
       Dengan berdasarkan empat kunci ini,maka insya Allah IKHWAN al-hikmah DIHARAPKAN menjadi seORANG MANUSIA menjadi ABDUL JABBAR yang merupakan KHOLIFAH yang memiliki pangkat “MUHAMMAD SAW”Sebagai “wamaa arsalnaaka rahmatan  lil alamin.”
Ini yang menjadi cita-cita kita semua sebagai hamba Allah sehingga kita menjadi hamba yang selamat dan menyelamat sesama Makhluk ALLAH.


1.Biografi Syaikh Ahmad Khatib Sambas
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Khatib Sambas bin Abd al-Ghaiffar al¬Sambasi al-kalimantani . la di lahirkan di kampung Dagang atau Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat (Borneo) pada 1217 H/1802 M. Setelah mendapatkan pendidikan agama di kampung halamannya, ia tinggal di Mekkah pada usia 19 untuk memperdalam ilmu agama clan menetap di sana selama quartal kedua abad 21. Ia menetap di Mekkah hingga akhir hayatnya pada tahun 1289 H/1872 M. Di sana ia belajar sejumlah ilmu pengetahuan agama, termasuk sufisme. Dan ia pun herhasil mendapatkan kedudukan terhormat di antara teman-teman sezamannya hingga akhirnya ajarannya berpengaruh kuat hingga sampai ke Indonesia.
Diantara guru-gurunya antara lain ; Syaikh Daud ibn Abdullah ibn Idris al¬Fatani (w. 1843), seorang ulama besar yang menetap di Mekkah, Syeikh Samsuddin, syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812). Bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa beliau juga murid dari Syeikh Abd Samad al-Palembangi (w. 1800). Seluruh murid-murid Syeikh Syamsuddin memberikan penghargaan yang tinggi atas Kompetensinya serta menobatkannya sebagai Syeikh Mursyid Kamil Mukammil.
Selain yang disebutkan di atas, terdapat juga sejumlah nama yang juga menjadi guru-guru Khatib Sambas, seperti Syaikh Muhammad Salih Rays, seorang mufti bermadzhab Syafi’i, Syeikh Umar bin Abd al-Rasul al-Attar, juga mufti bermadzhab Syafi’I (w. 1249 H/833/4 M), dan Syeikh ‘Abd al-Hafiz ‘Ajami (w. 1235 H/1819/20 M). ia juga menghadiri pelajaran yang diberikan oleh Syeikh Bisri al-Jabarti, Sayyid Ahmad Marzuki, seorang mufti bermadzhab Maliki, Abd Allah (Ibnu Muhammad) al-Mirghani (w 1273 H/1856/7 M), seorang mufti bermadzhab Hanafi serta Usman ibn Hasan al-Dimyati (w 1849 M).
Dari informasi ini dapat dikctahui bahwa Syeikh Khatib Sambas telah mendalami kajian Fiqh yang dipelajarinya dari guru-guru yang representatif dari tiga madzhab besar Fiqh. Sementara, al-Attar, al-Ajami dan al-Rays juga tiga ulama yang terdaftar sebagai guru-guru sezaman Khatib Sambas, Muhammad ibnu Sanusi (w. 1859 M), pendiri tarekat Sanusiyah. Baik Muhammad Usaman al-Mirghani (pendiri tarekat Khatmiyah yang sekaligus saudara Syeikh ‘Abd Allah al-Mirghani) maupun Ahmad Khatib Sambas, keduanya juga anggota dari sejumlah tarekat yang kemudian ajaran-ajaran taraket tersebut digabungkan mcnjadi tarekat tersendiri. Dalam kasus tarekat Khatmiyah, tarekat ini penggabungan dari tarekat Naqsabandiyya, Qadiriyya, Chistiyah, Kubrawiyah dan Suhrawardiyah. Sementara dalam catatan pinggir kitab Fath al-’Ariin dinyatakan bahwa sejumlah unsur tarekat penulis kitab tersebut adalah Naqsabandiyya, Qadiriyya, al-Anfas, al-Junaid, Tarekat al-Muwafaqa serta, sebagaimana yang disebutkan sejumlah sumber, tarekat Samman juga menggabungkan seluruh aliran tarekat di atas.
Kelenturan ajaran Qadiriyya bisa disebut sebagai faktor yang memotivasi Syeikh Sambas untuk mendirikan taerkat Qadiriyya wa Naqsabandiyya. Tentu saja, dalam tradisi sufi memodifikasi ajaran tarekat bukanlah hal yang tidak biasa dilakukan. Misalnya, terdapat 29 aliran tarekat yang merupakan cabang dari tarekat Qadiriyya. Sebenarnya bisa saja Syeikh Khatib Sumbas menamakan tarekat yang didirikannya dengan Tarekat al-Sambasiyah atau al-Khaitibiyah sebagaimana kebanyakan aliran tokoh tainnya yang biasanya menamakan tarekat dengan nama pendirinya, namun Khatib Sambas justru mcmilih menamakan tarekatnya dengan Qadiriyya wa Naqsabandiyya. Disini ia lebih menekankan aspek dua aliran arekat yang dipadukannya dan lebih jauh menunjukkan bahwa tarekat yang didirikannya benar-benar asli (original).
Sementara itu, kebanyakan murid-murid Ahmad Khatib Sambas berasal dari tanah Jawa dan Madura dan merekalah yang meneruskan larekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya ketika pulang ke Indonesia. Diantara murid-muridnya tersebut adalah ‘Abd al-Karim (Banten), Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhammad (Madura), Muhammad Isma’il ibn Abdurrahim (Bali), ‘Abd al-Lathif bin ‘Abd al-Qadir al¬Sarawaki (Serawak), Syeikh Yasin (Kedah), Syeikh Nuruddin (Filipina), Syeikh Nur al-Din (Sambas), Syeikh ‘Abd Allah Mubarak bin Nur Muhamcnad (Tasikmalaya). Dari murid-muridnya inilah kelak ajaran tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya sampai dan menyebar luas ke pelosok Nusantara.
AJARAN SYYAIKH AHMAD KHATIB SAMBAS
Menurut Naguib al-Attas, Syeikh Sambas merupakan seorang Syeikh dari dua tarekat yang berbeda, tarekat Qadiriyva dan Naqsabandiyya. Karena ia sebenarnya tidak mengajarkan kedua Tarekat ini secara terpisah akan tetapi mengkombinasikan kedua ajaran tarekat tersebut sehingga dikenali sebagai aliran tarekat baru yang berrbeda baik dengan Qadiriyya maupun Naqsabandiyya. Dalam prosedur dzikir, Syeikh Sambas mengenalkan Dzikir negasi dan afirmasi (Dzikr al-Nafy wa al-Ithbat) sebagaimana yang dipraktekkan dalam tarekat Qadiriyya. Selain itu, ia juga rnelakukan sedikit perubahan dari praktek Qadiriyya pada umumnya yang diadopsinya dari konsep Naqsabandiyya tentang lima Lathaif. Sedangkan pengaruh lain dari Naqsabandiyya dapat dilihat dalam praktek visualisasi rabitha, baik sebelum rnaupun sesudah dzikir dilaksanakan. Selain itu, jika Dzikir dalam tarekat Naqsabandiyya biasanya dipraktekkan secara samar dan dalam Qadiriyya diucapkan dengan suara yang keras maka Syeikh Khatib Sambas mengajarkan kedua cara drikir ini. Demikianlah Khatib Sambas menggabungkan dua tarekat yang berbeda sehingga Akhirnya Qadiriyya dan Naqsabandiyya pun mengambil tehnik spiritual utama dari dua aliran tarekat, Qadariyah dan Naqsabandiyya.
Untuk melihat lebih jauh ajaran Ahmad Khatib Sambas maka berikut akan dikemukakan sejumlah tema-tema penting yang terdapat di dalam kitab Fath al¬Arifin, sebuah kitab yang diyakini ditulis oleh Syeikh Sambas sendiri. Kitab ini sangat besar pengaruhnya di kawasan dunia Melayu dan sekaligus menjadi pedoman bagi pengikut tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya di pelosok Nusantara. Adapun sejumlah tema yang diangkat oleh Syeikh Sambas dalam kitab ini antara lain ;

Prosedur Pembai’atan
Dalam prosesi pembai’atan seorang yang akan memasuki tarekat Qadariyah wa Naysabandiyya, seorang Syeikh harus membaca bacaan yang khusus bagi pengikut tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya. Dan diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qudiniyyu Qadiriyya wa Naqsabandiyya, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir a’-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi. Selanjutnya Syeikh berdo’a untuk murid tersebut dengan harapan semoga sang murid mendapatkan kemudahan.

Sepuluh Latha’if (sesuatu yang Halus)
Setelah menjelaskan prosedur dan tata cara pembai’atan terhadap seseorang yang ingin memasuki Tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya, Syeikh Sambas kemudian menjelaskan bahwa manusia terdiri dari sepuluh Latha’if. Lima Lalha’it yang pertama disebut sebagai alam al-amr (alam perintah). Kelima Latu’if tersebut antara lain; Lathifa al-Qalbi (halus hati), Lathifa al-Ruh (halus ruh), Lathifa al-Sirr (halus rahasia), Lathifa al-Khafi (halus rahasia) dan Lathifa ul-Akhfa (halus yang paling tersembunyi). Sementara lima Latha’if seterusnya disebut sebagai ‘alum al-khalq (alam ciptaan) yang meliputi; Lathifa al-Nafs dan al-’anaasir al-arba’a (unsur yang empat) yakni air, udara, api dan tanah. Selanjutnya Syeikh Sambas menentukan bahwa Lathifa al-Nafs bertempat di dalam dahi dan tempurung kepala.

Tata Cara Beramal
Setetelah menjelaskan sepuluh Latha’if, Syeikh Sambas melanjutkan dengan petunjuk tata cara beramal (baca: berzikir) sebagaimana berikut ;

أستغفرالله الغفور الرحيم. اللهم صـل على سيـدنا محمد و صحبه و سلم. لا إله إلا الله

Cara membaca kalimat la ilaaha illa Allah dimulai dari menarik nafas panjang sambil membaca “لا” dari pusat ke otak. Lalu membaca “إلـه” ke arah kanan kemudian dilanjutkan dengan kalimat إلا الله ke dalam hati seraya mengingat maknanya.
Kemudian membaca لا مقصود إلا الله sambil membayangkan wajah Syeikh di hadapannya jika Syeikhnya jauh dari pandangannya akan tetapi jika dekat maka tinggal menanti limpahan saja. Inilah yang disebut dengan dzikir Nafy wa Ithbat yang dapat dilakukan baik dengan nyaring (zhihar) atau di dalam hati (sirr).
Setelah selesai berzikir diteruskan dengan membaca solawat Munjiyat sebagaimana berikut :

اللهم صـل على سيـدنا محمد صلاة تنجينا بها من حميع الأهوال و الأفات (الخ)

Kemudian diteruskan dengan membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, seluruh Silsilah tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiyya, khususnya kepada Sultan Auliya’ Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani dan Sayyid Tha’ifa al-Sufiyya, Syeikh Junayd al-Baghdadi sebagaimana halnya ketika melakukan pembai’atan.

Muraqabah
    Muraqabah al-Ahadiyah
    Murayabah al-Ma’iyah
    Muruqabuh al-Aqrabiyah
    Muraqabah al-Muhabbati fi Da’irat Ulu;
    Muraqabah al-Muhabbati fi Da’irat Tsaniyah
    Muruqabah al-Mahabbut fi Qawsi
    Muraqabah wilayat al-’Uly
    Muruqabah Kamalut Nubuwwah
    Muraqabah Kamalat Risalah
    Muraqaboh Kamalat Uli al-’Azm.
    Muraqabah al-Mahabbat Da’irat Khullu
    Muruqabah Da’iru, Mahabbat Syarfat Hiya Haqiqat Sayyidina Musa
    Muraqabah al-Zatiyah al-Mumtazijah bi Mahabbat wa Hiya Haqiqat Muhammadiya
    Muraqabah Mahbubiyat as-Syarfat wa Hiya Haqiqat Ahmadiyyah
    Muraqabah Hubb al-Syirf
    Muraqabah La Ta’ayyun
    Muraqabah Haqiqat al-Ka’bah
    Muraqabah Haqiqat al-Qur’an
    Muraqabah Haqiqat al-Sholat
    Muraqabah Dairat Ma’budiyah al-Syirfa


PENYEBARAN TAREKAT QADIRIYYA WA NAQSABANDIYYA
Sepulang dari kota suci Mekkah, murid-murid Syeikh Sambas yang sebelumnya telah dibai’at oleh Syeikh Sambas kemudian menyebarkan Tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya ke daerah mereka masing-masing. Dari murid-muridnya inilah kemudian Tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya akhirnya tersebar luas di sejumlah daerah di Nusantara.
Diantara muridnya yang memiliki pengaruh adalah ‘Abd al¬ Karim al-Banten. Ia lahir pada tahun 1840 di Lempuyang, satu daerah yang terletak di Tanara Jawa Barat. Ia berangkat ke Mekkah di usianya yang sangat Muda untuk menimba ilmu di sana. Setelah beberapa tahun berdomisili di kediaman Syeikh Sambas, ‘Abd al-karim Banten menerima ijaza sebagai anggota penuh tarekat Qadiriyya wa Naqsabandiya dan di usianya yang masih muda belia ini ia lelah mendalami ajaran Syaeikh Sambas. Tugas pertama yang diembannya adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Pada Tahun 1872 ia pulang ke Lempuyang selama tiga tahun kemudian pada tahun 1876 kembali ke Mek’kah untuk mengemban tugas sebagai pengganti Syeikh Sambas. Sebagai tambahan, lima cabang tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya yang ada di pulau Jawa menisbatkan Silsila mereka kepada dirinya.
Wejangan ‘Abd al-Karim memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Banten. Ia memandang dibutuhkan pemurnian terhadap kepercayaan dan praktek beragama dengan mengedepankan zikir sebagai fokus revitalisasi iman. Di sejumlah tempat, zikir dilakukan baik di Masjid ataupun langgar, sementara pada haris-hari libur diselenggarakan zikir malam. Oleh kebanyakan orang, Abd Karim dipercaya sebagai seorang wali yang dapat memberikan berkah tertentu (barakat) serta memiliki kekuatan diluar kemampuan manusia (karamat). Belakangan ia lebih dikenal dengan nama Kiyai Agung.
Di antara murid-murid H. ‘Abd al-Karim yang termuka antara lain ; H. Sangadeli Kaloran, H. Asnawi Bendung Lempuyang, H. Abu Bakar Pontang, H. Tubagus Isma’il Gulatjir dan H. Marzuki Tanara. Dari semua muridnya ini yang paling terkenal adalah yang disebut paling akhir. Dimana, sepulang dari Mekkah H. Marzuki Tanara mendirikan pondok pesantren di tempat kelahirannya (Tanara). Di Tanara ia mengajar dari tahun 1877-1888. Dua ulama terkemuka Banten, Wasid dan Tubagus Isma’il sering berkonsultasi kepadanya tentang masalah agama dan masalah yang ditimbulkan oleh kolonialisme
Murid lain Syeikh Sambas adalah Kyai Ahmad Hasbullah ibn Muhamrnad Madura. Ketika Kyai Ahmad Hasbullah tinggal di Rejoso Jawa Timur, Khalil, putera tiri pendiri pondok pesantren Rejoso menerima ijaza darinya. Kemudian Khalil menyerahkan kepemimpinan kepada saudara tirinya, Romli bin Tamim dan diteruskan oleh Kiyai Musta’in Romli. Untuk sementara Kyai Musta’in Romli mendapatkan popularitas di antara pemimpin Nahdhatul Ulama, namun popularitasnya kemudian hilang akibat ia merubah afiliasi politiknya dari sebelumnya mendukung PPP (ketika itu diback up NU) kemudian mendukung Golkar.
Demikian sehingga tarekat Qadariyya wa Naqsabandiyya dapat tersebar di Nusantara berkat murid dari Syeikh Khatib Sambas yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa.
Sumber : DAENG EKA PRAYUDa

2.Syekh Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas
Gerakan kebangkitan kembali (revival) yang dipimpin Syekh  Abdul Karim alias Kia Ageng memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula.
Senin, 13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa  meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul pengangkatannya sebagai pemimpin Tarekat Qadiriah,  menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.
Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan, Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute perjalanannya. Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan; diputuskan ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial  sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.
Tak syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu ulama yang  sangat dihormati dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari Kiai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai petunjuk kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda banjir air Sungai Cidurian;  kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen diganti dan bupati dipensiun.
Besarnya pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang,  tempat tinggalnya, dihias dengan megah. Kiai-kiai terkemuka --  termasuk dari Batavia dan Priangan --  datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia dan berlangsung sepekan itu.
Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang  Fathul ‘Arifin ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia Tenggara – mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriah menyebar di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh dikatakan, Abdul Karim adalah murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak heran, jika dia mendapat kepercayaan  gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriah.
Tugas pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan karena sudah amat terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak memperoleh murid dan pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, dialah yang paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.
Kurang lebih  tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung dakwahnya. Tidak kurang dari  Bupati Serang  sendiri yang menjadi pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya,  dan mereka amat terkesan dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim  sangat populer dan sangat dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan tentu saja  kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar orang  yang paling dihormati di Banten.
Sebelum kedatangan Kiai Agung dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai  bekerja tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah kedatangan Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim yang paling setia, dari Makkah.
Kiai Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya menjelajahi berbagai daerah di Banten. Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak henti-henti berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat beribadah. Ia menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus dimurnikan. Abdul Karim memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali kehidupan agama (revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana, menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Kiai Abdul Karim  mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk.
Dalam waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya.  Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan  ini adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi mereka yang merugikan rakyat. Dalam situasi demikian, para ulama secara bertahap membangunkan  semangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum tiba saatnya karena rakyat belum siap.
         Haji-haji Berjiwa Pemberontak
Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Kiai Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah Haji Abdul Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling dari semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Kiai Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah tujuan politik.
Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888. Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling Banten. Di tempat-tempat yang dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. Ia memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong praja terkemuka, dan berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam membangun  kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu minta nasihat kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.
Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Dia memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain  Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya karisma.
Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk berontak.
Snouck Hurgronje, yang menghadiri pengajiannya di Makkah pada 1884-1885, menceritakan:

“Setiap malam beratus-ratus orang yang mencari pahala berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar zikir dari dia, untuk mencium tangannya, dan untuk menayakan apakah saatnya  sudah hampir tiba, dan berapa lagi pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”
Tetapi Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban pasti. Dia selalu memberikan jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang sangat penting seperti mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya jihad.  Dia hanya mengisyaratkan bahwa  waktunya belum tiba untuk melancarkan perang sabil.***
            Dilema Guru, Dilema Murid
Pada 1883 murid Syekh Abdul Karim, Kiai Haji Tubagus Ismail, kembali dari Makkah,  mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali – ia tidak mencukur rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak pernah makan apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu Tubagus Urip, yang sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail sudah punya banyak pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui di Banten. Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, ia pun segera melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan, rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.
Pada Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di Tanara. Murid kesayangan dan wakil Haji Abdul Karim ini juga sahabat dekat Haji Tubagus Ismail. Menurut dugaan para pendudukung pemberontakan, kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas permintaan sahabatnya itu. Haji Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan gagasan tentang  jihad. Propagandanya cepat diterima umum, karena ia bertindak atas nama Haji Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya itu, masjid-masjid dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at meningkat tajam. Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiai di daerah Jawa Barat. Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya  merupakan jiwa gerakan jihad di Banten. Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen, menganggap bahwa Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas pemberontakan itu.   
Tetapi, menjelang pemberontakan meletus,  Haji Marjuki segera berangkat ke Makkah bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat ia sempat memberkati pakaian putih yang akan dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya di Tanara. Rupanya ia tidak sependapat dengan kiai lainnya, khususnya Haji Wasid, yang akan memulai pemberontakan pada bulan Juli. Kepada mereka ia menjelaskan bahwa pemberontakan itu terlalu dini, dan ia meninggalkan Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil, ia akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten dan ikut serta dalam perang sabil.
         Di Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar nahwu, sharaf, dan fikih. Muridnya tergolong banyak. Ia juga tidak pernah menyembunyikan sikap politiknya. Ia misalnya mengecam pemberontakan yang dipimpin Haji Wasid yang dinilainya terlalu pagi dan menimbulkan korban yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil, pemberontakan harus pecah di seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus punya cukup uang dan senjata. Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan dengan Haji Wasid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan  bahwa tangan kananya yang berpuru  tidak memungkinnya aktif dalam  perjuangan. Andaikan dia tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi dilema: dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan menghadapi risiko tindakan pembalasan Haji Wasid. Maka hanya satu alternatif – pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya masih ada di sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat untuk meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji Marjuki hanya mementingkan keselamatannya sendiri? .

Kedudukan pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa tahun sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya saja sang guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu dipanggil untuk menggantikan kedudukan Syekh Sambas. Bukankah  Haji Abdul Karim dulu, ketika masih di Banten,  berpendapat bahwa rakyat sebenarnya  belum siap untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-muridnya tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, dia tidak pernah memberikan kepastian waktu. Sementara itu,  sebagai kiai agung dan pengaruh, ia dituntut untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin pemberontakan. Jadi, apakah sang murid kesayangan sebenarnya hanya mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul Karim? Wallahu a’lam.  
       Yang pasti, setelah pemeberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus memburu orang-orang yang terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam terlibat. Ada yang dihukum mati dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon, diasingkan, dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai  hukuman  kerja paksa. Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya ada yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah tidak bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Kiai Abdul Karim dan Haji Marjuki terus dimata-matai. 
     Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim  kita temukan dalam pelbagai kumpulan tarekat. Organisasi-organisasi  tarekat di Tanah Air, terutama Jawa  (di pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya, Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di Jombang), yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut, menyambungkan silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.*** sumber:  A. Suryana Sudradjat.